Cari Blog Ini

Jumat, 23 September 2011

RUU PPN Ancam Pertanian

Tabloid Agrina 19 Januari 2009

Rencana pemerintah mengenakan PPN pada produk primer pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, harus dihentikan.

Niatan pemerintah merampungkan Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (RUU PPN) pada 2009 ini menjadi isu yang serius bagi sektor pertanian. Sebab dalam RUU tersebut terdapat aturan yang menyatakan, produk primer pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) yang sebelumnya termasuk barang bebas pajak akan menjadi barang kena pajak. Dirjen Pajak sebagai wakil pemerintah menyatakan, pengenaan PPN pada produk primer pertanian bertujuan meningkatkan penerimaan negara dari pajak, menghilangkan komplikasi atau masalah akibat dari putusnya rantai pembayaran PPN, dan menghilangkan diskriminasi karena barang/jasa yang dihasilkan dari sektor nonpertanian sebagian besar sudah dikenakan PPN.

Pada RUU PPN yang diusulkan, Dirjen Pajak menawarkan beberapa opsi, yaitu perubahan tarif PPN bagi produk primer perusahaan besar, pengenaan PPN bagi petani atau penghasil produk pertanian dalam jumlah kecil, membebaskan pemungutan PPN bagi petani yang beromzet Rp600 juta per tahun dan mengenakan pungutan PPN sebesar 10% untuk perusahaan pertanian yang beromzet di atas Rp600 juta per tahun. Hal tersebut perlu dikaji dan dianalisis secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan pertanian dengan memperhatikan berbagai macam aspek yang mempengaruhinya agar rencana tersebut dapat dihentikan atau dibatalkan.

Sejarah dan Konsep PPN

Aspek pertama, sejarah dan konsep PPN untuk produk pertanian. Konsep pengenaan PPN pada prinsipnya diberlakukan atas setiap pertambahan nilai dari barang/jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam Bahasa Inggris, pajak ini disebut value added tax (VAT) atau goods and service tax (GST). PPN tergolong jenis pajak tidak langsung, yang artinya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah hal yang berbeda. PPN mempunyai sifat obyektif, artinya pengenaan pajak didasarkan pada obyek pajak.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagai aturan formal pertama untuk PPN, produk primer pertanian yang termasuk kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, sagu, dan kedelai adalah jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Aturan tersebut tetap dipertahankan pada peraturan perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Berdasarkan sejarah, konsep, definisi dan karakteristik PPN, sudah sepantasnya produk primer pertanian digolongkan ke dalam jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Sebab jika dikaji dari konsep dan definisinya, PPN diberlakukan atas setiap pertambahan nilai setiap barang/jasa. Sedangkan produk primer pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), seperti beras, jagung, daging, telur, susu, dan ikan adalah barang/produk yang belum mengalami pertambahan nilai karena merupakan hasil langsung dari budidaya pertanian/peternakan/perikanan. Produk tersebut mengalami pertambahan nilai jika sudah mengalami pengolahan, seperti beras jika sudah diolah menjadi tepung beras, daging jika sudah diolah menjadi kornet, nugget dan produk-produk turunan lainnya. Jadi, yang lebih tepat dikenai PPN adalah produk-produk olahan dari produk primer pertanian.

Adapun jika dianalisis dari sisi sejarah dan aturan, Indonesia sudah benar memposisikan sebagian produk primer pertanian yang termasuk barang kebutuhan pokok (beras, jagung, sagu dan kedelai) sebagai barang bebas PPN. Walaupun seharusnya Indonesia mengikuti langkah negara-negara yang maju sektor pertaniannya, seperti Uni Eropa, telah membebaskan seluruh produk primer pertaniannya dari PPN, bahkan mereka juga memberikan subsidi.

Karakteristik PPN yang menempatkan obyek pajak sebagai dasar pengenaan pajak, seharusnya tidak membeda-bedakan pengenaan pajak antara badan usaha/perusahaan dengan petani. Sebab, dasar pengenaan PPN adalah obyek pajak, berarti pengenaannya pada barang/jasa yaitu produk pertanian, bukan pada perusahaan atau petani yang statusnya sebagai subyek.

Dampak terhadap Pertanian

Pengenaan PPN terhadap produk primer pertanian tentu akan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap sektor pertanian. Tidak hanya menyentuh aspek ekonominya saja tetapi juga aspek sosial terutama yang menyangkut kehidupan petani. Dampak langsung yang terlihat jika PPN dikenakan pada produk primer pertanian adalah aspek ekonomi. Dari kurang lebih 42 juta petani di Indonesia, rata-rata adalah petani dengan skala usaha kecil dan bergerak di subsistem agribisnis budidaya. Petani yang bergerak di subsistem budidaya terbilang penerima margin tataniaga terkecil dibandingkan pelaku di subsistem agribisnis hulu dan hilir.

Usaha pertanian mereka jauh dari kelayakan ekonomis. Jika pengenaan PPN pada produk primer pertanian jadi diberlakukan, itu akan membuat usaha mereka semakin jauh dari skala usaha yang ekonomis. Pengenaan PPN justru akan membuat ekonomi biaya tinggi dan harga produk primer pertanian semakin mahal. Alhasil, produk primer pertanian kita sulit bersaing dengan produk-produk pertanian impor. Hal tersebut juga menyebabkan rendahnya daya serap produk primer pertanian domestik oleh pasar. Padahal dalam kondisi krisis global saat ini, harga yang tinggi akan menurunkan daya beli konsumen. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan turun.

Penurunan pendapatan petani dapat mengakibatkan usahanya terancam bangkrut. Jika gulung tikar, mereka menjadi pengangguran yang akhirnya membuat mereka semakin miskin. Dengan demikian, dampaknya bagi negara ini adalah meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur dan miskin. Semakin banyak orang miskin dan pengangguran, semakin meningkat pula alokasi APBN untuk kemiskinan dan pengangguran. Karena itu target meningkatnya penerimaan negara dari pengenaan PPN pada produk primer pertanian justru akan sia-sia karena beban anggaran dan belanja negara juga meningkat.

Harus Dihentikan

RUU PPN yang isinya akan mengenakan PPN untuk produk primer pertanian jelas merupakan sebuah ancaman serius. Karena itu pemerintah sebaiknya menghentikan dan membatalkan rencana tersebut karena dampak yang akan timbul jika RUU tersebut disahkan cukup besar.

Pemerintah juga harus mencari alternatif-alternatif lain dalam memformulasikan aturan perpajakan agar target penerimaan negara dari pajak meningkat tanpa membuat sektor pertanian mundur dan terpuruk. Alternatif kebijakan yang bisa dilakukan misalnya memberikan stimulus baik berupa subsidi, infrastruktur ataupun bentuk lain kepada sektor pertanian yang mendorong penciptaan produk-produk yang bernilai tambah atau olahan. Dengan begitu, produk pertanian dalam negeri dapat berdaya saing dan pemerintah dapat mengenakan PPN pada produk-produk olahan tersebut.

Galih Sudrajat, S.Pt, Wakil Direktur Bidang Litbang Wahana Masyarakat Perunggasan Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar