Cari Blog Ini

Jumat, 23 September 2011

Survey Politik di Mata Hukum Statistik

Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (anggota DPR, DPRD dan DPD) bertujuan untuk menyempurnakan Undang-Undang sebelumnya, artinya apa yang menjadi kekurangan dan permasalahan di undang-undang sebelumnya sudah disempurnakan dan di selesaikan pada Undang-Undang tersebut. Apa yang terjadi sekarang justru sebaliknya, Undang-Undang yang baru ini justru menimbulkan polemik baru mulai dari cara penentuan anggota legislatif terpilih melalui suara terbanyak atau nomor urut dan aturan yang mempermasalahkan keberadaan lembaga survei politik. Permasalahan pertama saat ini sudah dapat diatasi dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa cara penentuan anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan permasalahan kedua sampai saat ini masih jadi polemik, apalagi ditambah dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tersebut mengenai keberadaan lembaga survei politik.
Polemik tentang keberadaan lembaga survei, sebenarnya sudah muncul ketika Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk RUU. Ketika itu, beberapa anggota DPR mempermasalahkan kredibilitas sejumlah lembaga survei yang selama ini aktif melakukan survei politik (baik itu survei popularitas/ramalan maupun perhitungan cepat (quick count)). Para anggota dewan khawatir bahwa survei popularitas/ramalan dapat mempengaruhi kecenderungan pemilih untuk memilih calon yang dimenangkan oleh survei tersebut. Mereka juga meragukan kredibilitas lembaga-lembaga survei politik, apakah sudah menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang benar dalam penyelenggaraan survei? Terakhir yang juga dipermasalahkan oleh anggota dewan adalah independensi lembaga survei politik, apakah murni menjalankan survei untuk prediksi ilmiah atau melakukan survei untuk kepentingan parpol dan calon tertentu? Apa yang dikhawatirkan oleh anggota dewan cukup wajar karena mereka mempunyai kepentingan yang besar terkait pelaksanaan pemilihan umum (termasuk pilkada). Hanya saja cara menyikapi permasalahan tersebut harus ditinjau dulu dari esensi dasar penyelenggaraan sebuah survei.
Survei pada dasarnya adalah kegiatan ilmiah. Dikatakan ilmiah karena merupakan bagian dari suatu cabang ilmu, yaitu statistik. Dalam kehidupan bernegara penyelenggaraan statistik adalah vital sebagai alat penyusun perencanaan pembangunan, sehingga statistik harus diformalkan menjadi suatu aturan atau produk hukum. Jadi penyikapan yang tepat terhadap kekhawatiran para anggota dewan adalah dengan mendudukkan survei pada tempatnya yaitu sebagai suatu bagian dari ilmu dan hukum statistik. Cara penyikapan tersebut akan membantu penyelesaian polemik tersebut tanpa harus mempertentangkan aturan dengan aturan.
Ilmu Statistik dan Survei
Survei pada hakikatnya adalah salah satu metodologi dari ilmu statistik. Banyak dari ahli statistik sudah memberikan konsep dan definisi dari survei. Secara umum survei dapat didefinisikan sebagai kegiatan statistik yang dilakukan dengan menggunakan sebagian anggota populasi (sampel) untuk memberikan gambaran tentang karakteristik tertentu seluruh anggota populasi. Pada penyelenggaraan survei, ada beberapa kaidah/prinsip ilmiah yang harus diperhatikan oleh penyelenggara survei (dalam hal ini lembaga survei politik) terutama dalam penggunaan metodologinya. Pertama, sebelum menyelenggarakan survei, lembaga survei sudah memberikan konsep dan definisi yang cukup jelas tentang variabel-variabel yang digunakan. Konsep dan definisi tersebut seharusnya mengacu pada standar nasional maupun internasional agar validitas, reliabilitas dan keterbandingan hasilnya diakui. Kedua, penentuan jumlah sampel dan metode penarikan sampel dari populasi yang akan diteliti harus memperhatikan kaidah-kaidah ilmu statistik. Sehingga sampel yang digunakan dapat mewakili populasi dan hasil survei dapat memberikan gambaran yang tepat terhadap populasi. Ketiga, lembaga survei harus mencantumkan dengan jelas waktu penyelenggaraan survei, agar hasilnya dapat diperbandingkan antar waktu. Keempat, instrument (kuesioner) yang digunakan dalam sebuah survei harus sudah teruji, artinya lembaga survei politik harus melakukan uji coba dulu terhadap kuesioner yang digunakan, agar instrument (kuesioner) tersebut layak digunakan (valid dan reliabel). Kelima, lembaga survei politik juga harus memperhatikan metode pengumpulan data, apakah menggunakan wawancara dengan tatap muka langsung, observasi, wawancara melalui telepon atau lewat media lainnya. Keenam, penyelenggara survei politik harus menentukan cara pengolahan dan analisis data yang digunakan serta standard error dari survei tersebut. Ketujuh atau yang terakhir, para penyelenggara survei politik harus memperhatikan cara penyajian dan penyebarluasan (diseminasi) hasil surveinya. Agar para pengguna data hasil survei (partai politik ataupun masyarakat luas) dapat memahami, mencermati dan menelaah hasil survei tersebut dengan baik. Ketujuh prinsip tersebut mutlak dipunyai oleh setiap lembaga survei politik agar kualitas dari hasil survei dapat dipertanggungjawabkan di mata publik.
Hukum Statistik dan Survei
Kegiatan statistik menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dibagi menjadi tiga jenis yaitu: statistik dasar, statistik sektoral dan statistik khusus. Statistik dasar diselenggarakan oleh Badan (BPS (Badan Pusat Statistik)), statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, dan statistik khusus diselenggarakan oleh masyarakat baik lembaga, organisasi, perorangan maupun unsur masyarakat lainnya. Jadi berdasarkan pasal 13 UU Statistik, kegiatan survei yang dilakukan oleh lembaga survei politik tergolong ke dalam statistik khusus. Artinya kegiatan survei politik terikat pada hukum statistik, karena termaktub dalam Undang-Undang. Sehingga penyelenggaraannya harus memperhatikan aturan-aturan yang ada pada hukum statistik. Hukum statistik atau peraturan perundangan yang harus diperhatikan tidak hanya UU Statistik, tetapi juga aturan-aturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik dan Keputusan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 8 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemberitahuan Sinopsis Survei Statistik Khusus.
Sebagai konsekuensi dari penerapan peraturan perundangan tersebut, lembaga survei politik harus patuh, taat dan menerapkan norma atau aturan yang mengatur penyelenggaraan statistik khusus. Beberapa norma atau aturan penting yang harus dipatuhi oleh lembaga survei politik adalah, pasal 14 ayat 1 UU Statistik yang menyatakan bahwa penyelenggara statistik khusus wajib memberitahukan sinopsis kegiatan statistik yang telah selesai diselenggarakan kepada Badan (BPS). Jadi, lembaga survei politik wajib menyerahkan hasil surveinya kepada BPS. Konsekuensi atau sanksi jika aturan tersebut tidak dilaksanakan diatur pada pasal 35 UU Statistik yaitu hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Kepatuhan lembaga survei politik terhadap aturan tersebut sampai saat ini sangat-sangat rendah. Karena berdasarkan data pada SIRUSA (Sistem Rujukan Statistik) BPS, dari total 424 sinopsis statistik khusus yang dilaporkan dari tahun 1999-2008 tidak ada satu pun yang berasal dari lembaga survei politik. Jadi menurut UU, seluruh lembaga survei politik yang ada saat ini dapat dipidanakan.
Aturan atau norma yang mewajibkan lembaga survei politik menyerahkan sinopsis hasil surveinya kepada BPS bertujuan untuk mewujudkan BPS sebagai pusat rujukan informasi statistik dalam kerangka Sistem Statistik Nasional, menjaga keterbandingan data dan informasi yang dihasilkan dari hasil survei politik dan sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan survei politik. Sinopsis tersebut dapat menjadi bahan penelaahan publik terhadap kualitas dari survei politik yang dilakukan. Sebab menurut pasal 14 ayat 2, sinopsis tersebut wajib memuat judul, wilayah kegiatan statistik, objek populasi, jumlah responden, waktu pelaksanaan, metode statistik, nama dan alamat penyelenggara serta abstrak. Unsur-unsur yang termuat dalam sinopsis tersebut yang digunakan publik untuk menelaah dan menilai kualitas penyelenggaraan dan hasil survei politik.
Peraturan KPU tidak perlu
Berdasarkan tinjauan ilmu dan hukum statistik, jika lembaga survei dengan sungguh-sungguh menerapkan ilmu dan hukum statistik, apa yang dikhawatirkan oleh anggota dewan dapat diminimalkan dan pembuatan peraturan pelaksana dari KPU tidak diperlukan. Sebab dengan adanya sinopsis yang diserahkan kepada BPS, masyarakat dengan cara mengakses SIRUSA dapat menilai apakah lembaga survei politik sudah menyelenggarakan survei politik sesuai dengan ilmu dan hukum statistik. Jadi janganlah melangkah jauh untuk membuat peraturan KPU tentang lembaga survei politik atau membuat kode etik lembaga survei politik. Tetapi patuhi dan taatilah prinsip dan hukum dasarnya terlebih dahulu yaitu ilmu dan hukum statistik. Sehingga penggunaan survei sebagai salah satu instrumen dari demokrasi (pemilihan langsung) dapat berjalan dengan optimal dan sebagaimanamestinya.

Sejarah: Islam itu Bersahabat...

Beberapa waktu lalu pikiran saya terusik dengan pemberitaan media massa yang begitu menyudutkan islam. Pemberitaan tersebut perihal penyerangan dan penusukan terhadap dua orang pemuka agama dari jemaat kristen HKPB di wilayah Ciketing Mustika Jaya Bekasi. Pemberitaan mengenai peristiwa tersebut seolah-olah menyudutkan bahwa masyarakat/ormas islamlah yang menjadi biang keladinya. Beberapa koran yang saya baca tiga hari belakangan begitu menyudutkan salah satu ormas islam sebagai king maker atas peristiwa tersebut. Hal tersebut sungguh sangat disayangkan, karena media-media tersebut menyajikan berita dengan tidak berimbang. Media massa cenderung mengutip sumber-sumber dari pihak jemaat kristen HKBP dan pihak-pihak yang mengatasnamakan forum kebebasan beragama. Menurut saya, hal tersebut sungguh keliru karena ormas islam yang tersudutkan atas peristiwa itu sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau dijadikan nara sumber. Hal ini sangat membahayakan, karena dapat membuat persepsi publik yang buruk terhadap islam. Persepsi publik bahwa islam akrab dengan kekerasan dapat terbentuk dan ini sangat berbahaya karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim serta persepsi ini sangat bertentangan sekali dengan ajaran islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya mencoba menuangkan beberapa pemikiran berdasarkan ilmu dan pemahaman yang saya punya, bagaimana sebenarnya posisi islam terhadap pemeluk agama lain dari tinjauan sejarah.

Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Masa ini adalah prototype sesungguhnya tentang islam dari seluruh aspek, baik islam sebagai agama, ideologi, maupun negara. Pada masa ini, untuk pertama kalinya Rasulullah mengajarkan islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai negara. Madinah sebagai pusat pemerintahan di kala itu mempunyai penduduk yang tidak hanya muslim, tetapi terdapat juga penganut agama nasrani (kristen), yahudi, dan majusi. Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, kepala pemerintahan, dan kepala negara berhasil menyatukan mereka sehingga saling hormat menghormati dalam suatu perjanjian yang disebut piagam madinah. Kaum non muslim waktu itu, baik nasrani, yahudi, dan majusi bebas untuk menjalankan ibadah serta melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Bahkan mereka di lindungi sebagai warga negara dan dibebaskan dari kewajiban berperang serta sebagai gantinya mereka membayar jizyah. Salah satu riwayat mengkisahkan, bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan seorang yahudi di pemerintahan sebagai ahli pembukuan dan pengadministrasian. Bahkan dikisahkan, bahwa Rasulullah setiap harinya memberikan dan menyuapi makan seeorang yahudi buta yang saban harinya menghina dan mencaci maki dirinya. Itulah beberapa contoh sikap dan kebijaksanaan islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umat non muslim ketika dirinya memimpin langsung islam sebagai negara dan agama.

Masa ketika islam memimpin setelah Rasulullah wafat
Islam pernah memimpin dunia dan mengalami masa keemasan. Islam ketika itu memimpin wilayah dari semenanjung arab, asia, afrika bahkan sampai ke daratan eropa tepatnya di Andalusia (sekarang spanyol). Masa keemasan ini diperkirakan oleh para sejarawan terjadi ketika masa pemerintahan Dinasti Abassiyah yang berpusat di Baghdad. Pasa masa tersebut, lagi-lagi islam menunjukkan sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Umat non muslim kala itu, mendapat perlakuan istimewa. Selain diberi kebebasan untuk beribadah, mereka juga diberi keleluasaan dalam menuntut ilmu. Sekolah dan universitas-universitas islam terbuka untuk mereka. Salah satu riwayat mengkisahkan bahwa para cendikiawan-cendikiawan non muslim yang ada di bawah kekuasaan Romawi waktu itu, banyak yang melarikan diri ke negeri muslim. Sebab, di bawah kekaisaran romawi, mereka dianggap sebagai pengkhianat karena terlalu kritis terhadap pemerintah Romawi yang kala itu terkenal selalu menghalalkan segala cara. Mereka memilih negeri muslim sebagai tempat pengasingan, karena negeri muslim menjamin keamanan mereka untuk mengembangkan ilmu dan kreativitas berfikir.
Contoh lain dari kearifan islam adalah masa ketika Sultan Shalahudin Al-Ayubi memimpin. Shalahudin adalah pemimpin yang begitu dikenal tidak hanya berdasarkan sejarah islam tetapi juga didasarkan sejarah yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa. Sultan Shalahudin begitu dikenal karena sikapnya yang begitu arif dan bijak terhadap umat non muslim. Berdasarkan fakta sejarah, ketika Sultan merebut dan berhasil menguasai Yerussalem, Beliau tidak berlaku semena-mena terhadap umat nasrani dan yahudi di Yerussalem tetapi justru melindungi mereka, membebaskannya untuk beribadah serta tetap membiarkan sinaggog dan gereja berdiri. Hal ini sungguh bertolak belakang ketika Yerussalem dikuasai oleh Romawi dan Yahudi, umat muslim di Yerussalem banyak yang terbunuh, dipaksa keluar dari Yerussalem, dan mengalami kesulitan untuk beribadah.

Itulah sekelumit fakta sejarah yang membumikan bahwa islam bersahabat, islam itu agama rahmat, islam mengedepankan perdamaian. Bukan seperti yang diekspose oleh media massa sekarang, bahwa islam identik dengan kekerasan, tidak toleran, dan sebagai sumber kerusakan.  Jadi penulis sangat berharap kepada media massa, tolong sajikan berita yang proporsional, apalagi yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Pendirian rumah ibadah ada aturannya, jadi semua pihak harus menghormati aturan tersebut. Kebebasan memang suatu hak, tapi kebebasan pun perlu diatur agar penggunaan hak tidak disalahgunakan.

Wallahualam bisshowab

Akibat Keterbukaan....

Tulisan ini hanya sekedar analisis sederhana untuk sebuah partai yang dulunya sangat kental dan teguh memegang prinsip dan nilai-nilai islam, bahkan sampai dicitrakan sebagai partai dakwah. Tetapi kini partai itu telah mengubah haluan dan jati dirinya serta dengan bangga mendeklarasikan dirinya menjadi partai terbuka, partai inkulsif yang terbuka untuk semua golongan. Cerita tersebut berawal, dari konsensus para punggawa partai di Bali yang didominasi oleh kaum muda dan ditukangi oleh seorang ajengan yang cerdik dan lihai menyatakan bahwa untuk mendapat dukungan atau meningkatkan perolehan suara, partai ini harus terbuka untuk semua golongan dan tidak hanya untuk umat muslim.
Semua keputusan, sikap, dan langkah pasti mempunyai konsekuensi atau resiko. Begitu pula terhadap keputusan yang diambil oleh partai islam yang menjadikan dirinya menjadi partai terbuka, tentu mempunyai konsekuensi dan resiko. Hipotesis tersebut sepertinya benar, sejak awal berganti baju menjadi partai terbuka sampai saat ini, tak henti-hentinya problema, kasus, dan skandal melilit partai islam tersebut.
Kasus pertama yang melilit partai islam tersebut adalah iklan partai di pemilu 2009 yang membajak tokoh-tokoh ormas lain tanpa mengkonfirmasinya terlebih dahulu bahkan tokoh koruptor dan diktator nomor wahid di negeri ini pun di bajak untuk dikatakan sebagai guru bangsa. Iklan ini pun menuai protes dari masyarakat termasuk dari kader grass root partai islam tersebut. Kasus ini disikapi dengan santai oleh para elite partai dengan mengatakan iklan tersebut dibuat berdasarkan analisis dan survei internal partai yang hasilnya menyatakan bahwa orang-orang yang ada di iklan tersebut layak dikatakan sebagai guru bangsa. Kesimpulan dari kasus ini adalah survei tidak sesuai dengan realitas. Realitas menyatakan bahwa salah satu tokoh di iklan tersebut adalah diktator yang telah memperkaya diri sendiri dan keluarganya lewat jalur kekuasaan dan diktator tersebut juga  telah membantai ribuan nyawa umat islam (kasus talang sari, tanjung priuk dll). Lalu apakah orang seperti itu yang disebut sebagai guru bangsa???
Setelah lama tak terdengar kasus, problema, dan skandal di tubuh partai islam tersebut, kini aroma tersebut tercium begitu menyengat dan datang bertubi-tubi. Sebut saja aroma kasus "Daging Berjanggut" yang melibatkan elite-elite partai tersebut di Kementerian Pertanian dan perusahaan importir daging. Kasus ini juga belum sepenuhnya diclearkan, karena klarifikasi yang diberikan oleh elite partai berbeda dengan dokumen resmi  hasil investigasi sebuah majalah nasional yang terkenal kritis.
Selanjutnya partai tersebut kembali digoyang dengan pengakuan mengejutkan dari seorang ajengan mantan pendiri partai yang menyatakan bahwa beberapa elite partai tersebut terlibat dalam penggelapan uang PILKADA di Ibu Kota dan menjalani poligami yang tidak sesuai dengan arahan Dewan Syari'ah partai. Kasus inilah yang begitu menampar partai dakwah yang sekarang disebut partai terbuka ini, karena sampai saat ini tidak ada satu pun bantahan ataupun klarifikasi yang begitu tegas, lugas, dan membeberkan fakta-fakta bahwa pengakuan dan tuduhan ajengan tersebut tidak benar.
Tak hanya kasus yang melilit partai tersebut, tetapi juga skandal dan itu baru terjadi beberapa hari yang lalu. Skandal tersebut sering disebut oleh berbagai media sebagai "Skandal Pariporno". Skandal ini melibatkan anggota dewan dari partai tersebut yang tertangkap basah menonton video porno pada saat sidang paripurna. Nasib dari skandal ini juga belum jelas, karena Dewan Syari'ah partai tersebut masih mendalami, dan menelaah skandal tersebut dan belum menyatakan sikap apapun.
Begitulah kasus demi kasus, diikuti skandal melilit, menampar dan mencoreng partai yang dahulunya begitu dibanggakan dengan militansi kadernya terhadap nilai-nilai islam. Kini cerita-cerita bagus tentang partai ini nyaris tidak terdengar. Kini tidak adalagi cerita tentang kesiapsiagaan kader partai dalam menanggulangi  banjir dan bencana lainnya, kesederhanaan para petingginya yang tidak menggunakan berbagai fasilitas mewah yang diberikan.
Saat ini yang terdengar adalah kasus dan skandal seperti yang disebutkan di atas dan beberapa isu miring seperti gaya hidup yang bermewah-mewahan elite-elite partai seperti mempunyai villa, dan rumah yang dinilai tidak wajar jika disesuaikan dengan penghasilannya sebagai anggota dewan serta kenakalan-kenakalan kecil seperti beristri lebih dari satu.
Apakah semua itu berkaitan dengan ideologi "Keterbukaan" yang kini dianut oleh partai tersebut???...entahlah. Tetapi yang pasti jika seseorang, golongan, atau masyarakat telah menjauhi nilai-nilai islam bahkan mengadopsi nilai-nilai di luar islam seperti "keterbukaan" yang berlebih-lebihan, inklusif, pluralisme, demokrasi, liberalisme dan sejenisnya tunggu saja kehancurannya....

Wallahu'alam bishawab...

RUU PPN Ancam Pertanian

Tabloid Agrina 19 Januari 2009

Rencana pemerintah mengenakan PPN pada produk primer pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, harus dihentikan.

Niatan pemerintah merampungkan Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (RUU PPN) pada 2009 ini menjadi isu yang serius bagi sektor pertanian. Sebab dalam RUU tersebut terdapat aturan yang menyatakan, produk primer pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) yang sebelumnya termasuk barang bebas pajak akan menjadi barang kena pajak. Dirjen Pajak sebagai wakil pemerintah menyatakan, pengenaan PPN pada produk primer pertanian bertujuan meningkatkan penerimaan negara dari pajak, menghilangkan komplikasi atau masalah akibat dari putusnya rantai pembayaran PPN, dan menghilangkan diskriminasi karena barang/jasa yang dihasilkan dari sektor nonpertanian sebagian besar sudah dikenakan PPN.

Pada RUU PPN yang diusulkan, Dirjen Pajak menawarkan beberapa opsi, yaitu perubahan tarif PPN bagi produk primer perusahaan besar, pengenaan PPN bagi petani atau penghasil produk pertanian dalam jumlah kecil, membebaskan pemungutan PPN bagi petani yang beromzet Rp600 juta per tahun dan mengenakan pungutan PPN sebesar 10% untuk perusahaan pertanian yang beromzet di atas Rp600 juta per tahun. Hal tersebut perlu dikaji dan dianalisis secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan pertanian dengan memperhatikan berbagai macam aspek yang mempengaruhinya agar rencana tersebut dapat dihentikan atau dibatalkan.

Sejarah dan Konsep PPN

Aspek pertama, sejarah dan konsep PPN untuk produk pertanian. Konsep pengenaan PPN pada prinsipnya diberlakukan atas setiap pertambahan nilai dari barang/jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam Bahasa Inggris, pajak ini disebut value added tax (VAT) atau goods and service tax (GST). PPN tergolong jenis pajak tidak langsung, yang artinya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak adalah hal yang berbeda. PPN mempunyai sifat obyektif, artinya pengenaan pajak didasarkan pada obyek pajak.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagai aturan formal pertama untuk PPN, produk primer pertanian yang termasuk kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, sagu, dan kedelai adalah jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Aturan tersebut tetap dipertahankan pada peraturan perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Berdasarkan sejarah, konsep, definisi dan karakteristik PPN, sudah sepantasnya produk primer pertanian digolongkan ke dalam jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Sebab jika dikaji dari konsep dan definisinya, PPN diberlakukan atas setiap pertambahan nilai setiap barang/jasa. Sedangkan produk primer pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), seperti beras, jagung, daging, telur, susu, dan ikan adalah barang/produk yang belum mengalami pertambahan nilai karena merupakan hasil langsung dari budidaya pertanian/peternakan/perikanan. Produk tersebut mengalami pertambahan nilai jika sudah mengalami pengolahan, seperti beras jika sudah diolah menjadi tepung beras, daging jika sudah diolah menjadi kornet, nugget dan produk-produk turunan lainnya. Jadi, yang lebih tepat dikenai PPN adalah produk-produk olahan dari produk primer pertanian.

Adapun jika dianalisis dari sisi sejarah dan aturan, Indonesia sudah benar memposisikan sebagian produk primer pertanian yang termasuk barang kebutuhan pokok (beras, jagung, sagu dan kedelai) sebagai barang bebas PPN. Walaupun seharusnya Indonesia mengikuti langkah negara-negara yang maju sektor pertaniannya, seperti Uni Eropa, telah membebaskan seluruh produk primer pertaniannya dari PPN, bahkan mereka juga memberikan subsidi.

Karakteristik PPN yang menempatkan obyek pajak sebagai dasar pengenaan pajak, seharusnya tidak membeda-bedakan pengenaan pajak antara badan usaha/perusahaan dengan petani. Sebab, dasar pengenaan PPN adalah obyek pajak, berarti pengenaannya pada barang/jasa yaitu produk pertanian, bukan pada perusahaan atau petani yang statusnya sebagai subyek.

Dampak terhadap Pertanian

Pengenaan PPN terhadap produk primer pertanian tentu akan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap sektor pertanian. Tidak hanya menyentuh aspek ekonominya saja tetapi juga aspek sosial terutama yang menyangkut kehidupan petani. Dampak langsung yang terlihat jika PPN dikenakan pada produk primer pertanian adalah aspek ekonomi. Dari kurang lebih 42 juta petani di Indonesia, rata-rata adalah petani dengan skala usaha kecil dan bergerak di subsistem agribisnis budidaya. Petani yang bergerak di subsistem budidaya terbilang penerima margin tataniaga terkecil dibandingkan pelaku di subsistem agribisnis hulu dan hilir.

Usaha pertanian mereka jauh dari kelayakan ekonomis. Jika pengenaan PPN pada produk primer pertanian jadi diberlakukan, itu akan membuat usaha mereka semakin jauh dari skala usaha yang ekonomis. Pengenaan PPN justru akan membuat ekonomi biaya tinggi dan harga produk primer pertanian semakin mahal. Alhasil, produk primer pertanian kita sulit bersaing dengan produk-produk pertanian impor. Hal tersebut juga menyebabkan rendahnya daya serap produk primer pertanian domestik oleh pasar. Padahal dalam kondisi krisis global saat ini, harga yang tinggi akan menurunkan daya beli konsumen. Ujung-ujungnya pendapatan petani akan turun.

Penurunan pendapatan petani dapat mengakibatkan usahanya terancam bangkrut. Jika gulung tikar, mereka menjadi pengangguran yang akhirnya membuat mereka semakin miskin. Dengan demikian, dampaknya bagi negara ini adalah meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur dan miskin. Semakin banyak orang miskin dan pengangguran, semakin meningkat pula alokasi APBN untuk kemiskinan dan pengangguran. Karena itu target meningkatnya penerimaan negara dari pengenaan PPN pada produk primer pertanian justru akan sia-sia karena beban anggaran dan belanja negara juga meningkat.

Harus Dihentikan

RUU PPN yang isinya akan mengenakan PPN untuk produk primer pertanian jelas merupakan sebuah ancaman serius. Karena itu pemerintah sebaiknya menghentikan dan membatalkan rencana tersebut karena dampak yang akan timbul jika RUU tersebut disahkan cukup besar.

Pemerintah juga harus mencari alternatif-alternatif lain dalam memformulasikan aturan perpajakan agar target penerimaan negara dari pajak meningkat tanpa membuat sektor pertanian mundur dan terpuruk. Alternatif kebijakan yang bisa dilakukan misalnya memberikan stimulus baik berupa subsidi, infrastruktur ataupun bentuk lain kepada sektor pertanian yang mendorong penciptaan produk-produk yang bernilai tambah atau olahan. Dengan begitu, produk pertanian dalam negeri dapat berdaya saing dan pemerintah dapat mengenakan PPN pada produk-produk olahan tersebut.

Galih Sudrajat, S.Pt, Wakil Direktur Bidang Litbang Wahana Masyarakat Perunggasan Indonesia


Aspek Penting dalam Peraturan Pakan Ternak

Date: Monday, March 07 @ 16:25:40 WIT
Topic: Opini


Poultryindonesia.com, Opini. Era perdagangan bebas menuntut setiap produsen pakan untuk menghasilkan pakan bermutu sesuai dengan standar internasional.Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas pembangunan peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya (onfarm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan komprehensif, yaitu agribisnis. Sistem agribisnis peternakan mencakup usaha peternakan mulai dari subsistem hulu (penyedia sapronak : pakan, bibit dan alat-alat), subsistem budidaya (onfarm), subsistem hilir (pengolahan dan pemasaran) dan subsistem agribisnis penunjang (lembaga jasa dan kebijakan).

Pakan merupakan salah satu komoditi dari subsistem agribisnis hulu, atau dengan kata lain penyedia sapronak untuk subsistem budidaya ternak. Pakan merupakan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berimbas pada peningkatan bobot badan ternak dan performa ternak yang diinginkan. Peningkatan populasi, produksi daging, susu dan telur sebagai hasil ternak sangat tergantung dari penyediaan pakan yang baik dan berkualitas. Selain itu dalam usaha peternakan biaya pakan mencapai persentasi tertinggi dalam biaya produksi yaitu mencapai 50 –70%.

Penyediaan pakan ternak di Indonesia sudah dilakukan dalam industri skala besar, khususnya untuk pakan non hijauan dan tanaman pakan. Bahkan pada sektor perunggasan industri pakan sudah terintegrasi menjadi sitem agribisnis perunggasan. Sedangkan untuk penyediaan hijauan atau tanaman pakan masih harus didapatkan dari petani hijauan atau tanaman pakan. Seiring munculnya industri pakan ternak diperlukan iklim yang kondusif agar persaingan usaha berlangsung sehat.

Distribusi atau peredaran pakan atau bahan baku pakan melalui jalur ekspor-impor di era perdagangan bebas akan lebih mudah. Indonesia harus memperhatikan hal ini karena sebagian besar bahan baku pakan ternak kita masih dipenuhi dari impor. Adanya bebas biaya tarif untuk impor harus diperhatikan karena dapat membuat produsen bahan baku pakan lokal kalah bersaing.

Era perdagangan bebas menuntut setiap negara untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi termasuk pakan, agar dapat bersaing di pasar internasional. Adanya SPS (Sanitary Phyto Sanitary) menuntut produsen pakan agar mengikuti peraturan tersebut untuk menghasilkan pakan bermutu sesuai dengan preferensi konsumen. Pakan yang diproduksi tentunya harus sesuai dengan standar SNI dan standard internasional (Codex Alimentarius Commision).

Pakan yang baik dan berkualitas harus memenuhi persyaratan mutu yang mencakup aspek keamanan pakan, aspek kesehatan ternak, aspek keamanan pangan dan aspek ekonomi. Keempat aspek tersebut penting untuk dipenuhi karena akan berpengaruh pada kesehatan ternak, penyediaan pangan hasil ternak dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi pangan hasil ternak, serta efisiensi biaya agar dihasilkan pakan yang bernilai ekonomis.

Perlu legislasi pakan

Sebuah legislasi atau peraturan perlu dibuat untuk menunjang penyediaan pakan yang mencakup aspek keamanan pakan, kesehatan ternak, keamanan pangan dan ekonomi. Peraturan atau kebijakan yang dibuat pemerintah juga harus memperhatikan situasi dan kondisi terkini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosial kultural masyarakat khususnya petani dan peternak.

Peraturan tentang pakan di Indonesia sampai saat ini masih berada dan beracuan pada UU No. 6 tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Walaupun pada perjalanannya hingga sekarang UU tersebut sedang mengalami revisi. Selain UU peraturan tentang pakan ternak juga terdapat dalam bentuk peraturan pemerintah sebagai Keputusan Menteri Pertanian nomor : 242/kpts/OT.210/4/2003 tentang pendaftaran dan labelisasi pakan.
UU No. 6 tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan hanya memuat tanaman pakan sebagai pakan ternak. UU ini tidak mencantumkan pakan termasuk bahan baku pakan selain tanaman pakan, imbuhan pakan (feed additive) dan bahan pelengkap lainnya sebagai pakan ternak. Pengaturan tentang industri pakan serta bagaimana pendistribusian pakan ternak sama sekali tidak tersentuh dalam UU ini. Aspek yang menyangkut keamanan pakan, kesehatan ternak, keamanan pangan dan ekonomi juga tidak termuat. Sehingga mengimplikasikan bahwa UU ini tidak relevan lagi digunakan sebagai pedoman, peraturan tentang pakan ternak pada kondisi globalisasi, perdagangan bebas, perkembangan IPTEK dan tumbuhnya industri pakan terintegrasi.

Melihat ketidakrelevanan UU No. 6 tahun 1967 yang menaungi tentang pakan ternak maka pemerintah melakukan revisi pada UU tersebut. Revisi ini sekarang sudah masuk pada tahap penyelesaian naskah akademis. Pada naskah tersebut sudah termuat bab khusus tentang pakan pada bagian ketiga yang memuat tujuh pasal, yaitu pasal 20-26. Bagian tersebut meliputi definisi pakan, jenis pengusahaan, pengadaan dan distribusi pakan, keamanan pakan, perizinan pengusahaan pakan dan peraturan-peraturan dengan instansi yang berhubungan dengan isi yang sudah hampir memuat seluruh aspek mutu pakan.

Aspek keamanan pakan dan kesehatan ternak

Keamanan pakan yang berimbas pada kesehatan ternak memang belum termuat dalam UU No. 6 tahun 1967. Tetapi pada revisinya yang masih berupa naskah akademis termaktub dalam pasal 22 yang terdiri dari dua ayat. Ayat pertama berisikan bahwa pemerintah menetapkan batas maksimum kandungan bahan pencemar fisik, kimia, biologis pada bahan baku pakan yang dapat mengganggu kesehatan dan produksi ternak serta konsumen produk ternak.

Lebih jelas lagi pada ayat berikutnya diterangkan, bahwa pakan yang berasal dari organisme transgenik harus memenuhi persyaratan keamanan pakan dan keamaan hayati. Tetapi ada sedikit kerancuan pada pasal berikutnya, yaitu pada pasal 23 ayat 4 poin c. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang mencampur pakan dengan antibiotika terentu sebagai feed additive. Penjelasan tentang pemakaian antibiotika ini menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Karena belum dijelaskan jenis apa yang dilarang sebagai feed additive.

Aspek keamanan pakan dan kesehatan ternak sangat penting dimasukkan ke dalam peraturan, sehingga pemerintah menyepesifikasikannya dalam bentuk peraturan Keputusan Menteri Pertanian RI tentang pendaftaran dan labelisasi pakan. Pada Kepmen ini sudah mencakup hampir semua hal yang berkaitan tentang pendaftaran dan labelisasi pakan. Mulai dari mekanisme pendaftaran dan labelisasi, syarat pendaftaran dan labelisasi serta sanksi hukum bagi pelanggar prosedur pendaftaran dan labelisasi.

Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendaftaran dan labelisasi. Label pada pakan harus mampu menjadi alat trace back, jika sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti  timbulnya penyakit pada ternak akibat mengonsumsi pakan dan adanya pengaduan konsumen bahwa pakannya tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sehingga trace ability dapat berjalan dengan baik dan kepercayaan konsumen akan kembali.

Aspek keamanan pakan dan kesehatan ternak perlu diperhatikan karena pada kondisi sekarang banyak ditemukan penyakit ternak yang ditimbulkan oleh pakan. Penyakit BSE (Bovine Spongioform Encephalopaty) misalnya adalah penyakit yang ditimbulkan akibat sapi mengonsumsi pakan berasal dari campuran tepung daging tulang (MBM), tepung ikan dan tepung darah. Sehingga penetapan standar pakan yang baik dan tidak berbahaya lagi bagi kesehatan ternak harus ditaati dan menjadi acuan penyusunan formulasi ransum ternak.

Aspek keamanan pangan dan ekonomi

Pakan yang dibuat untuk konsumsi ternak juga harus memperhatikan aspek keamanan pangan. Karena pakan yang bagus dan bermutu tinggi akan menigkatkan produksi pangan hasil ternak (daging, telur dan susu) untuk kebutuhan konsumen. Penggunaan senyawa fisik, kimia, biologi pada pakan tidak boleh membahayakan kesehatan ternak dan konsumen produk ternak. Penggunaan hormon atau antibiotika yang berbahaya sebagai feed additive juga harus dilarang karena dapat menjadi residu pada bahan pangan hasil ternak. Penggunaan bahan baku pakan yang berasal dari organisme transgenik juga harus diperhatikan sebab dapat saja menjadi GMO (Genetically Modified Organism) pada pangan hasil ternak yang berbahaya bagi konsumen.

Peraturan pakan yang berhubungan dengan keamanan pangan belum termuat pada UU No. 6 tahun 1967. Tetapi dalam revisinya tercantum pada pasal 22 ayat 1 dan 2. Sedangkan lebih jauh lagi pada Kepmen tentang pendaftaran dan labelisasi pakan. Pada Kepmen disebutkan bahwa pendaftaran dan labelisasi pakan harus memenuhi standar teknis yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu SNI tentang pakan harus memuat kriteria-kriteria yang berimplikasi pada keamanan pangan seperti batas cemaran mikroba dan serta kandungan antibiotika sebagai feed additive.

Industri pakan yang tumbuh pesat dan terintegrasi harus diiringi dengan peraturan yang menciptakan iklim yang kondusif untuk menciptakan persaingan sehat dalam aspek ekonomi. Peraturan tentang perizinan usaha, pengadaan dan distribusi pakan sudah termuat dalam revisi UU No. 6 tahun 1967. Tetapi peraturan tentang tataniaga perdagangan ekspor-impor pakan belum termuat. Hal ini justru penting sekali karena pakan, bahan baku pakan dan feed additive sering sekali dikenakan biaya cukup tinggi dalam perdagangan ekspor-impor. Sebagai contoh, karena tidak adanya penjelasan tentang definisi feed additive pada UU No. 6 tahun 1967, Departeman Keuangan RI mengenakan PPN pada produk tersebut. Karena menurut UU yang dibuat Departemen Keuangan RI, feed additive tidak masuk dalam barang strategis. Padahal feed additive ini merupakan bahan imbuhan pakan yang merupakan barang strategis.

Revisi UU No. 6 tahun 1967  sudah selesai memasuki naskah akademis. Seluruh stake holder peternakan masih mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan terhadap revisi tersebut. Khusus untuk pakan diharapkan UU tersebut merupakan UU payung untuk peraturan lainnya yang melingkupi aspek-aspek penting dalam pakan, yaitu keamanan pakan, kesehatan ternak, keamanan pangan dan ekonomi.  Galih Sudrajat (Alumni  Fakultas Peternakan IPB)