Cari Blog Ini

Jumat, 23 September 2011

Survey Politik di Mata Hukum Statistik

Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (anggota DPR, DPRD dan DPD) bertujuan untuk menyempurnakan Undang-Undang sebelumnya, artinya apa yang menjadi kekurangan dan permasalahan di undang-undang sebelumnya sudah disempurnakan dan di selesaikan pada Undang-Undang tersebut. Apa yang terjadi sekarang justru sebaliknya, Undang-Undang yang baru ini justru menimbulkan polemik baru mulai dari cara penentuan anggota legislatif terpilih melalui suara terbanyak atau nomor urut dan aturan yang mempermasalahkan keberadaan lembaga survei politik. Permasalahan pertama saat ini sudah dapat diatasi dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa cara penentuan anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan permasalahan kedua sampai saat ini masih jadi polemik, apalagi ditambah dengan rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tersebut mengenai keberadaan lembaga survei politik.
Polemik tentang keberadaan lembaga survei, sebenarnya sudah muncul ketika Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk RUU. Ketika itu, beberapa anggota DPR mempermasalahkan kredibilitas sejumlah lembaga survei yang selama ini aktif melakukan survei politik (baik itu survei popularitas/ramalan maupun perhitungan cepat (quick count)). Para anggota dewan khawatir bahwa survei popularitas/ramalan dapat mempengaruhi kecenderungan pemilih untuk memilih calon yang dimenangkan oleh survei tersebut. Mereka juga meragukan kredibilitas lembaga-lembaga survei politik, apakah sudah menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang benar dalam penyelenggaraan survei? Terakhir yang juga dipermasalahkan oleh anggota dewan adalah independensi lembaga survei politik, apakah murni menjalankan survei untuk prediksi ilmiah atau melakukan survei untuk kepentingan parpol dan calon tertentu? Apa yang dikhawatirkan oleh anggota dewan cukup wajar karena mereka mempunyai kepentingan yang besar terkait pelaksanaan pemilihan umum (termasuk pilkada). Hanya saja cara menyikapi permasalahan tersebut harus ditinjau dulu dari esensi dasar penyelenggaraan sebuah survei.
Survei pada dasarnya adalah kegiatan ilmiah. Dikatakan ilmiah karena merupakan bagian dari suatu cabang ilmu, yaitu statistik. Dalam kehidupan bernegara penyelenggaraan statistik adalah vital sebagai alat penyusun perencanaan pembangunan, sehingga statistik harus diformalkan menjadi suatu aturan atau produk hukum. Jadi penyikapan yang tepat terhadap kekhawatiran para anggota dewan adalah dengan mendudukkan survei pada tempatnya yaitu sebagai suatu bagian dari ilmu dan hukum statistik. Cara penyikapan tersebut akan membantu penyelesaian polemik tersebut tanpa harus mempertentangkan aturan dengan aturan.
Ilmu Statistik dan Survei
Survei pada hakikatnya adalah salah satu metodologi dari ilmu statistik. Banyak dari ahli statistik sudah memberikan konsep dan definisi dari survei. Secara umum survei dapat didefinisikan sebagai kegiatan statistik yang dilakukan dengan menggunakan sebagian anggota populasi (sampel) untuk memberikan gambaran tentang karakteristik tertentu seluruh anggota populasi. Pada penyelenggaraan survei, ada beberapa kaidah/prinsip ilmiah yang harus diperhatikan oleh penyelenggara survei (dalam hal ini lembaga survei politik) terutama dalam penggunaan metodologinya. Pertama, sebelum menyelenggarakan survei, lembaga survei sudah memberikan konsep dan definisi yang cukup jelas tentang variabel-variabel yang digunakan. Konsep dan definisi tersebut seharusnya mengacu pada standar nasional maupun internasional agar validitas, reliabilitas dan keterbandingan hasilnya diakui. Kedua, penentuan jumlah sampel dan metode penarikan sampel dari populasi yang akan diteliti harus memperhatikan kaidah-kaidah ilmu statistik. Sehingga sampel yang digunakan dapat mewakili populasi dan hasil survei dapat memberikan gambaran yang tepat terhadap populasi. Ketiga, lembaga survei harus mencantumkan dengan jelas waktu penyelenggaraan survei, agar hasilnya dapat diperbandingkan antar waktu. Keempat, instrument (kuesioner) yang digunakan dalam sebuah survei harus sudah teruji, artinya lembaga survei politik harus melakukan uji coba dulu terhadap kuesioner yang digunakan, agar instrument (kuesioner) tersebut layak digunakan (valid dan reliabel). Kelima, lembaga survei politik juga harus memperhatikan metode pengumpulan data, apakah menggunakan wawancara dengan tatap muka langsung, observasi, wawancara melalui telepon atau lewat media lainnya. Keenam, penyelenggara survei politik harus menentukan cara pengolahan dan analisis data yang digunakan serta standard error dari survei tersebut. Ketujuh atau yang terakhir, para penyelenggara survei politik harus memperhatikan cara penyajian dan penyebarluasan (diseminasi) hasil surveinya. Agar para pengguna data hasil survei (partai politik ataupun masyarakat luas) dapat memahami, mencermati dan menelaah hasil survei tersebut dengan baik. Ketujuh prinsip tersebut mutlak dipunyai oleh setiap lembaga survei politik agar kualitas dari hasil survei dapat dipertanggungjawabkan di mata publik.
Hukum Statistik dan Survei
Kegiatan statistik menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dibagi menjadi tiga jenis yaitu: statistik dasar, statistik sektoral dan statistik khusus. Statistik dasar diselenggarakan oleh Badan (BPS (Badan Pusat Statistik)), statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, dan statistik khusus diselenggarakan oleh masyarakat baik lembaga, organisasi, perorangan maupun unsur masyarakat lainnya. Jadi berdasarkan pasal 13 UU Statistik, kegiatan survei yang dilakukan oleh lembaga survei politik tergolong ke dalam statistik khusus. Artinya kegiatan survei politik terikat pada hukum statistik, karena termaktub dalam Undang-Undang. Sehingga penyelenggaraannya harus memperhatikan aturan-aturan yang ada pada hukum statistik. Hukum statistik atau peraturan perundangan yang harus diperhatikan tidak hanya UU Statistik, tetapi juga aturan-aturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik dan Keputusan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 8 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemberitahuan Sinopsis Survei Statistik Khusus.
Sebagai konsekuensi dari penerapan peraturan perundangan tersebut, lembaga survei politik harus patuh, taat dan menerapkan norma atau aturan yang mengatur penyelenggaraan statistik khusus. Beberapa norma atau aturan penting yang harus dipatuhi oleh lembaga survei politik adalah, pasal 14 ayat 1 UU Statistik yang menyatakan bahwa penyelenggara statistik khusus wajib memberitahukan sinopsis kegiatan statistik yang telah selesai diselenggarakan kepada Badan (BPS). Jadi, lembaga survei politik wajib menyerahkan hasil surveinya kepada BPS. Konsekuensi atau sanksi jika aturan tersebut tidak dilaksanakan diatur pada pasal 35 UU Statistik yaitu hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Kepatuhan lembaga survei politik terhadap aturan tersebut sampai saat ini sangat-sangat rendah. Karena berdasarkan data pada SIRUSA (Sistem Rujukan Statistik) BPS, dari total 424 sinopsis statistik khusus yang dilaporkan dari tahun 1999-2008 tidak ada satu pun yang berasal dari lembaga survei politik. Jadi menurut UU, seluruh lembaga survei politik yang ada saat ini dapat dipidanakan.
Aturan atau norma yang mewajibkan lembaga survei politik menyerahkan sinopsis hasil surveinya kepada BPS bertujuan untuk mewujudkan BPS sebagai pusat rujukan informasi statistik dalam kerangka Sistem Statistik Nasional, menjaga keterbandingan data dan informasi yang dihasilkan dari hasil survei politik dan sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan survei politik. Sinopsis tersebut dapat menjadi bahan penelaahan publik terhadap kualitas dari survei politik yang dilakukan. Sebab menurut pasal 14 ayat 2, sinopsis tersebut wajib memuat judul, wilayah kegiatan statistik, objek populasi, jumlah responden, waktu pelaksanaan, metode statistik, nama dan alamat penyelenggara serta abstrak. Unsur-unsur yang termuat dalam sinopsis tersebut yang digunakan publik untuk menelaah dan menilai kualitas penyelenggaraan dan hasil survei politik.
Peraturan KPU tidak perlu
Berdasarkan tinjauan ilmu dan hukum statistik, jika lembaga survei dengan sungguh-sungguh menerapkan ilmu dan hukum statistik, apa yang dikhawatirkan oleh anggota dewan dapat diminimalkan dan pembuatan peraturan pelaksana dari KPU tidak diperlukan. Sebab dengan adanya sinopsis yang diserahkan kepada BPS, masyarakat dengan cara mengakses SIRUSA dapat menilai apakah lembaga survei politik sudah menyelenggarakan survei politik sesuai dengan ilmu dan hukum statistik. Jadi janganlah melangkah jauh untuk membuat peraturan KPU tentang lembaga survei politik atau membuat kode etik lembaga survei politik. Tetapi patuhi dan taatilah prinsip dan hukum dasarnya terlebih dahulu yaitu ilmu dan hukum statistik. Sehingga penggunaan survei sebagai salah satu instrumen dari demokrasi (pemilihan langsung) dapat berjalan dengan optimal dan sebagaimanamestinya.

Sejarah: Islam itu Bersahabat...

Beberapa waktu lalu pikiran saya terusik dengan pemberitaan media massa yang begitu menyudutkan islam. Pemberitaan tersebut perihal penyerangan dan penusukan terhadap dua orang pemuka agama dari jemaat kristen HKPB di wilayah Ciketing Mustika Jaya Bekasi. Pemberitaan mengenai peristiwa tersebut seolah-olah menyudutkan bahwa masyarakat/ormas islamlah yang menjadi biang keladinya. Beberapa koran yang saya baca tiga hari belakangan begitu menyudutkan salah satu ormas islam sebagai king maker atas peristiwa tersebut. Hal tersebut sungguh sangat disayangkan, karena media-media tersebut menyajikan berita dengan tidak berimbang. Media massa cenderung mengutip sumber-sumber dari pihak jemaat kristen HKBP dan pihak-pihak yang mengatasnamakan forum kebebasan beragama. Menurut saya, hal tersebut sungguh keliru karena ormas islam yang tersudutkan atas peristiwa itu sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau dijadikan nara sumber. Hal ini sangat membahayakan, karena dapat membuat persepsi publik yang buruk terhadap islam. Persepsi publik bahwa islam akrab dengan kekerasan dapat terbentuk dan ini sangat berbahaya karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim serta persepsi ini sangat bertentangan sekali dengan ajaran islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya mencoba menuangkan beberapa pemikiran berdasarkan ilmu dan pemahaman yang saya punya, bagaimana sebenarnya posisi islam terhadap pemeluk agama lain dari tinjauan sejarah.

Masa Pemerintahan Rasulullah SAW
Masa ini adalah prototype sesungguhnya tentang islam dari seluruh aspek, baik islam sebagai agama, ideologi, maupun negara. Pada masa ini, untuk pertama kalinya Rasulullah mengajarkan islam tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai negara. Madinah sebagai pusat pemerintahan di kala itu mempunyai penduduk yang tidak hanya muslim, tetapi terdapat juga penganut agama nasrani (kristen), yahudi, dan majusi. Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, kepala pemerintahan, dan kepala negara berhasil menyatukan mereka sehingga saling hormat menghormati dalam suatu perjanjian yang disebut piagam madinah. Kaum non muslim waktu itu, baik nasrani, yahudi, dan majusi bebas untuk menjalankan ibadah serta melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Bahkan mereka di lindungi sebagai warga negara dan dibebaskan dari kewajiban berperang serta sebagai gantinya mereka membayar jizyah. Salah satu riwayat mengkisahkan, bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan seorang yahudi di pemerintahan sebagai ahli pembukuan dan pengadministrasian. Bahkan dikisahkan, bahwa Rasulullah setiap harinya memberikan dan menyuapi makan seeorang yahudi buta yang saban harinya menghina dan mencaci maki dirinya. Itulah beberapa contoh sikap dan kebijaksanaan islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umat non muslim ketika dirinya memimpin langsung islam sebagai negara dan agama.

Masa ketika islam memimpin setelah Rasulullah wafat
Islam pernah memimpin dunia dan mengalami masa keemasan. Islam ketika itu memimpin wilayah dari semenanjung arab, asia, afrika bahkan sampai ke daratan eropa tepatnya di Andalusia (sekarang spanyol). Masa keemasan ini diperkirakan oleh para sejarawan terjadi ketika masa pemerintahan Dinasti Abassiyah yang berpusat di Baghdad. Pasa masa tersebut, lagi-lagi islam menunjukkan sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin. Umat non muslim kala itu, mendapat perlakuan istimewa. Selain diberi kebebasan untuk beribadah, mereka juga diberi keleluasaan dalam menuntut ilmu. Sekolah dan universitas-universitas islam terbuka untuk mereka. Salah satu riwayat mengkisahkan bahwa para cendikiawan-cendikiawan non muslim yang ada di bawah kekuasaan Romawi waktu itu, banyak yang melarikan diri ke negeri muslim. Sebab, di bawah kekaisaran romawi, mereka dianggap sebagai pengkhianat karena terlalu kritis terhadap pemerintah Romawi yang kala itu terkenal selalu menghalalkan segala cara. Mereka memilih negeri muslim sebagai tempat pengasingan, karena negeri muslim menjamin keamanan mereka untuk mengembangkan ilmu dan kreativitas berfikir.
Contoh lain dari kearifan islam adalah masa ketika Sultan Shalahudin Al-Ayubi memimpin. Shalahudin adalah pemimpin yang begitu dikenal tidak hanya berdasarkan sejarah islam tetapi juga didasarkan sejarah yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa. Sultan Shalahudin begitu dikenal karena sikapnya yang begitu arif dan bijak terhadap umat non muslim. Berdasarkan fakta sejarah, ketika Sultan merebut dan berhasil menguasai Yerussalem, Beliau tidak berlaku semena-mena terhadap umat nasrani dan yahudi di Yerussalem tetapi justru melindungi mereka, membebaskannya untuk beribadah serta tetap membiarkan sinaggog dan gereja berdiri. Hal ini sungguh bertolak belakang ketika Yerussalem dikuasai oleh Romawi dan Yahudi, umat muslim di Yerussalem banyak yang terbunuh, dipaksa keluar dari Yerussalem, dan mengalami kesulitan untuk beribadah.

Itulah sekelumit fakta sejarah yang membumikan bahwa islam bersahabat, islam itu agama rahmat, islam mengedepankan perdamaian. Bukan seperti yang diekspose oleh media massa sekarang, bahwa islam identik dengan kekerasan, tidak toleran, dan sebagai sumber kerusakan.  Jadi penulis sangat berharap kepada media massa, tolong sajikan berita yang proporsional, apalagi yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Pendirian rumah ibadah ada aturannya, jadi semua pihak harus menghormati aturan tersebut. Kebebasan memang suatu hak, tapi kebebasan pun perlu diatur agar penggunaan hak tidak disalahgunakan.

Wallahualam bisshowab